Indonesia telah lelah dijajah, bosan hidup dalam kungkungan dan ingin bangkit dari keterpurukan. Hingga akhirnya pendidikan menjadi salah satu solusi untuk mengentaskan penjajahan itu. Namun, pada masa penjajahan, hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, penduduk Indonesia banyak yang dijadikan target empuk, dan diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah.
Kondisi pendidikan yang memprihatinkan ini tidak hanya dibiarkan begitu saja oleh kaum cendikiawan Indonesia. Salah satu cendikiawan Indonesia yang memiliki keseriusan mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantara. Beliau telah berjasa besar untuk Negara ini di bidang pendidikan, sehingga melalui Kepres No. 916 tanggal 16 Desember 1959, tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional. Ajaran beliau yang terkenal adalah tut wurihandayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangunkarsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan ingngarsa sungtulada (di depan memberi teladan), melandasi berdirinya Taman Siswa yang didirikan di Yogyakarta.
Dalam masa kekhalifahan, Pendidikan pun dijadikan urusan utama dalam Negara, misalnya pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab. Pada masa beliau, gaji yang diberikan kepada para pengajar al-Quran masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas. Jika 1 gram emasRp 100.000,00, 1 dinar berartisetaradenganRp 425.000,00. Artinya, gaji seorang guru ngaji adalah 15 (dinar) X Rp 425.000,00 = Rp 6.375.000,00. Ini berarti lebih dari 2 kali lipat dari gaji seorang guru besar (profesor) di Indonesia dengan pengabdian puluhan tahun. Para khalifah juga sangat peduli terhadap dunia perbukuan. Pada abad ke-10, misalnya, di Andalusia saja, terdapat 20 perpustakaan umum. Perpustakaan Cordova, misalnya, memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Padahal empat abad setelahnya, dalam catatan Chatolique Encyclopedia, Perpustakaan Gereja Canterbury saja—yang terbilang paling lengkap pada abad ke-14—hanyamiliki 1800 (1,8ribu) judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo juga mengoleksi tidak kurang 2 juta judul buku.
Saat ini, kemerdekaan itu telah ditangan kita, bahkan pendidikan pun sudah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia. Namun, mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran.
1. Efektifitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey kelapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah.
Seharusnya, setiap orang mempunyai kelebihan di bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
2. Efsiensi Pengajaran di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, lamanya waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumberdaya manusia Indonesia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tentang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang property pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih.
Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, namun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam, dan lain sebagainya.Hal itu bahkan diwajibkan oleh pendidik yang bersangkutan, bukankah ini sebagai komersialisme pendidikan?
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan Negara lain. Optimal belajar itu akan didapat selama 30 menit saja sebenarnya, jika terlalu dituntut lebih, dapat menyebabkan kejenuhan, sehingga ilmu yang disampaikan tidak diserap maksilmal. Selain itu, kurangnya mutu pengajar juga yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun dia mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan yang ada di lapangan. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga tidak mudah dimengerti dan membuat tertarik peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, berarti juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
3. Standarisasi Pendidikan di Indonesia
Dunia pendidikan terus berubah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menerus berubah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan harus lah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan di ukur oleh standard dan kompetensi di dalam berbagai versi sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP)
Tinjauan terhadap sandardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya muncullah bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekan oleh standar kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standar pendidikan, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana acara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar.
Selain itu, akan lebih baik jika dipertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofersi misalnya. Adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang disayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui peserta didik yang telah menempuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didiikuti oleh peserta didik.
Menuntut ilmu adalah salah satu ibadah yang akan langsung mendapat balasan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu jangan pernah puas dengan ilmu yang kita punya, karena itu hanya setitik air di lautan ilmuNya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar