Yogyakarta - ekitar 3 ribu perguruan tinggi negeri dan swasta seluruh Indonesia akan menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Pendidikan Tinggi (PT). Sebab RUU PT yang masih dibahas di DPR tersebut ternyata hanya ganti baju dari UU Badan Hukum Pendidikan (BHP).
"RUU PT ini istilahnya hanya ganti baju saja. Rohnya tetap sama yaitu UU BHP," kata staf ahli Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Sudjito SH kepada wartawan di kantor kompleks Bulaksumur UGM Yogyakarta, Selasa (9/8/2011).
Menurut Sudjito kehadiran RUU PT saat ini sebagai bentuk reaksi beberapa pihak atas penolakan dan pembatalan UU BHP di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Secara substansial semangat liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan dari RUU PT masih ada.
"RUU PT ini benar-benar mereduksi habis-habisan terhadap tujuan pendidikan, bukan untuk mencerdaskan bangsa tapi untuk mencetak buruh-buruh di pasar global," katanya.
Sudjito menegaskan dari berbagai aspek RUU ini banyak ditemukan kelemahan karena hanya mengubah bentuk dari UU BHP. Sedangkan isi dan rohnya adalah sama. Dari sisi kajian filosofis, sosiologi dan yuridis juga sangat lemah.
Dia menegaskan pihaknya mempertanyakan urgensi adanya RUU ini. Disinyalir RUU ini hanya untuk mengakomodasi kepentingan sesaat sekelompok orang dan institusi dengan dibatalkanya UU BHP. Sebab ada indikasi kuat kepentingan internal dari sekelompok anak bangsa ini yang ingin memanfaatkan RUU PT serta adanya desakan kepentingan eksternal/asing untuk menjadikan pendidikan tinggi Indonesia sebagai komoditas.
"Ini yang kami khawatir dan kekhawatiran kami beralasan karena RUU PT ini masuk ke DPR demikian cepat," katanya.
Menurut dia, secara prosedural seharusnya dalam menyusun RUU ini juga harus didahului dengan kajian berbagai hal seperti kajian white paper hingga legal drafting. Namun semua itu hanya dilakukan untuk formalitas saja.
"Hal ini tidak boleh ada dan tak boleh dilanjutkan. Ini bakal ditolak, kemudian ada judicial review dan sudah pasti cost-nya akan besar. Tapi kerugian yang lebih besar lagi yang dialami bangsa ini bila RUU PT itu tetap disahkan," katanya.
Sementara itu Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, Prof Dr Sutaryo menambahkan kajian secara akademis RUU tersebut sangat lemah. Oleh karena itu pihaknya akan mengajukan dengan membuat RUU tandingan agar menjadi bahan dan second opinion di DPR. Diperkirakan sekitar 3 ribu lebih PT se-Indonesia akan menolaknya karena RUU ini bukan solusi masalah namun memunculkan masalah baru di dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Sutaryo, penolakan dan respon negatif terhadap RUU PT itu sudah ada diantaranya dari forum rektor. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (APTISI), Dewan Pendidikan DIY, pelaku pendidikan tinggi, BEM UGM dll.
Sutaryo mencontohkan beberapa hal yang disetujui diantaranya dibeda-bedakannya antara PTN dan PTS. Sebab pembagian dan pembedaan seperti itu tidak perlu ada. Sebab hal ini akan mengakibatkan tidak terjadinya pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia.
"Mosok PTN dan PTS dibedakan, kalangan APTISI jelas menolak, mereka kan sama-sama bayar pajak. Ini bisa menjadikan munculnya oligarki pendidikan," pungkas Sutaryo.
"RUU PT ini istilahnya hanya ganti baju saja. Rohnya tetap sama yaitu UU BHP," kata staf ahli Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Sudjito SH kepada wartawan di kantor kompleks Bulaksumur UGM Yogyakarta, Selasa (9/8/2011).
Menurut Sudjito kehadiran RUU PT saat ini sebagai bentuk reaksi beberapa pihak atas penolakan dan pembatalan UU BHP di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Secara substansial semangat liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan dari RUU PT masih ada.
"RUU PT ini benar-benar mereduksi habis-habisan terhadap tujuan pendidikan, bukan untuk mencerdaskan bangsa tapi untuk mencetak buruh-buruh di pasar global," katanya.
Sudjito menegaskan dari berbagai aspek RUU ini banyak ditemukan kelemahan karena hanya mengubah bentuk dari UU BHP. Sedangkan isi dan rohnya adalah sama. Dari sisi kajian filosofis, sosiologi dan yuridis juga sangat lemah.
Dia menegaskan pihaknya mempertanyakan urgensi adanya RUU ini. Disinyalir RUU ini hanya untuk mengakomodasi kepentingan sesaat sekelompok orang dan institusi dengan dibatalkanya UU BHP. Sebab ada indikasi kuat kepentingan internal dari sekelompok anak bangsa ini yang ingin memanfaatkan RUU PT serta adanya desakan kepentingan eksternal/asing untuk menjadikan pendidikan tinggi Indonesia sebagai komoditas.
"Ini yang kami khawatir dan kekhawatiran kami beralasan karena RUU PT ini masuk ke DPR demikian cepat," katanya.
Menurut dia, secara prosedural seharusnya dalam menyusun RUU ini juga harus didahului dengan kajian berbagai hal seperti kajian white paper hingga legal drafting. Namun semua itu hanya dilakukan untuk formalitas saja.
"Hal ini tidak boleh ada dan tak boleh dilanjutkan. Ini bakal ditolak, kemudian ada judicial review dan sudah pasti cost-nya akan besar. Tapi kerugian yang lebih besar lagi yang dialami bangsa ini bila RUU PT itu tetap disahkan," katanya.
Sementara itu Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, Prof Dr Sutaryo menambahkan kajian secara akademis RUU tersebut sangat lemah. Oleh karena itu pihaknya akan mengajukan dengan membuat RUU tandingan agar menjadi bahan dan second opinion di DPR. Diperkirakan sekitar 3 ribu lebih PT se-Indonesia akan menolaknya karena RUU ini bukan solusi masalah namun memunculkan masalah baru di dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Sutaryo, penolakan dan respon negatif terhadap RUU PT itu sudah ada diantaranya dari forum rektor. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (APTISI), Dewan Pendidikan DIY, pelaku pendidikan tinggi, BEM UGM dll.
Sutaryo mencontohkan beberapa hal yang disetujui diantaranya dibeda-bedakannya antara PTN dan PTS. Sebab pembagian dan pembedaan seperti itu tidak perlu ada. Sebab hal ini akan mengakibatkan tidak terjadinya pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia.
"Mosok PTN dan PTS dibedakan, kalangan APTISI jelas menolak, mereka kan sama-sama bayar pajak. Ini bisa menjadikan munculnya oligarki pendidikan," pungkas Sutaryo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar