Konsep “Ngenger” atau ‘Ngawulo’ itu kurang diminati oleh mahasiswa jaman sekarang, mereka lebih suka tinggal di asrama mahasiswa (bagi yang pinter), di tempat Kos atau kontrak rumah rame-rame dengan segala fasilitas yang tersedia.
Jaman dulu, sebelum jamannya internet dan Ipod, banyak mahasiswa (khususnya yang berasal dari desa) dengan suka rela, bahkan aktif mencari tempat ngenger (ngawulo) dalam rangka mendukung kelancaran kuliahnya. Dari sisi ekonomi, bisa hidup berhemat dan memanfaatkan uang jatah untuk membeli buku wajib instruksi Pak Dosen.
Dengan kata lain, ngenger (ngawulo) pun bisa dimaknai sebagai magang kehidupan, karena secara langsung bisa belajar, mendapat ilmu dan pengalaman dari tempat yang di ngengeri. Mungkin juga bisa diartikan sebagai upaya sengaja ikut orang (numpang hidup). Di sana ikut membantu aktivitas induk semang, di sana juga bisa mendapatkan pelajaran atau belajar tentang kehidupan bermasyarakat (belajar bersosialisasi dalam arti sebenarnya), agar tidak canggung ketika nanti saatnya terjun langsung ke dalam kampus kehidupan nyata. Mungkin, ngenger itu kalau dalam khasanah PLS bisa disamakan dengan konsep magang, yaitu belajar dengan cara membantu ‘nara sumber teknis’ dalam koridor simbiosa mutualisma, sama-sama untung. Sehingga tidak ada salahnya jika mahasiswa PLS sejak dini diperkenalkan kepada habitatnya, yaitu kegiatan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh lembaga swasta (masyarakat) sebagai mitra dari dinas pendidikan yang membidangi pendidikan nonformal, seperti TBM, PKBM, SKB, BPKB, BPPNFI, P2PNFI dengan program-program andalannya yang terdiri dari PAUD, Keaksaraan Fungsional, Kesetaraan, Life skill, pendidikan pemberdayaan perempuan, pengarus utamaan gender dalam pendidikan, pengembangan minat baca dan sejenisnya.
Melalui kegiatan magang inilah, diharapkan mahasiswa PLS bisa memunculkan pikiran cerdas, kreatif dan inovatif dalam rangka membuat program pendidikan nonformal yang dapat menjangkau masyarakat yang tidak tersentuh oleh pendidikan formal.
Itu dulu, jaman ketika masih jarang orang melarat atau orang desa yang mau mengalokasikan dananya untuk menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi karena belenggu kemiskinan dan tradisi.
Sekarang jaman itu sudah berakhir, seiring membaiknya kondisi perekonomian keluarga dan meningkatnya taraf hidup masyarakat, serta tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, sehingga orang tua merasa turun gengsi (asor) jika anaknya tidak sekolah (kuliah). Untuk itulah dengan segala upaya orang tua menyiapkan dana untuk membiayai agar anaknya tidak perlu ngenger (ngawulo) yang mungkin saat ini diartikan sebagai kurang bergengsi, ngisin-ngisini, kurang gaul dan dianggap mengurangi kebebasan berekspresi sebagai anak muda dalam menggauli budaya urban. Akibatnya, masih banyak mahasiswa PLS yang ‘Anyih-anyih’ kurang familier ketika harus berkencan dengan habitatnya di lapangan. Mereka terkaget-kaget saat melihat pelaksanaan program PLS di lapangan, mulai dari karakteristik warga belajarnya, tutornya, pengelola, sarana prasarana yang ala kadarnya, proses belajar mengajar dan masalah ikutan lain yang tidak pernah terpikirkan dan dipelajari dari Hands Out Bapak Dosen. Bahkan di banyak kasus, tidak sedikit mahasiswa yang apatis dengan keilmuannya, keberadaan di kampus hanya menghabiskan waktu dengan aktif di UKM sambil tebar pesona untuk mencari calon pasangan hidup selepas kuliah nanti.
Untuk itulah, kiranya jurusan PLS sudah waktunya mereformasi diri, baik itu kurikulumnya maupun metode belajar yang selama ini “di imani” oleh dosen hendaknya diganti dengan yang lebih enjoyfull learning, begitu juga perilaku dosen yang lebih suka ngobyek di luar dengan membiarkan mahasiswanya pandai mencatat dan menghafal tanpa memahami isinya maupun dosen yang jarang ngajar, hanya rajin memberi tugas lewat email dan SMS. Semua itu kiranya perlu di bongkar dalam rangka meningkatkan kompetensi lulusan PLS untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja ke depan. Wallahu a’lam bish showab.*[ebas/ipabipusat-online].
Jaman dulu, sebelum jamannya internet dan Ipod, banyak mahasiswa (khususnya yang berasal dari desa) dengan suka rela, bahkan aktif mencari tempat ngenger (ngawulo) dalam rangka mendukung kelancaran kuliahnya. Dari sisi ekonomi, bisa hidup berhemat dan memanfaatkan uang jatah untuk membeli buku wajib instruksi Pak Dosen.
Dengan kata lain, ngenger (ngawulo) pun bisa dimaknai sebagai magang kehidupan, karena secara langsung bisa belajar, mendapat ilmu dan pengalaman dari tempat yang di ngengeri. Mungkin juga bisa diartikan sebagai upaya sengaja ikut orang (numpang hidup). Di sana ikut membantu aktivitas induk semang, di sana juga bisa mendapatkan pelajaran atau belajar tentang kehidupan bermasyarakat (belajar bersosialisasi dalam arti sebenarnya), agar tidak canggung ketika nanti saatnya terjun langsung ke dalam kampus kehidupan nyata. Mungkin, ngenger itu kalau dalam khasanah PLS bisa disamakan dengan konsep magang, yaitu belajar dengan cara membantu ‘nara sumber teknis’ dalam koridor simbiosa mutualisma, sama-sama untung. Sehingga tidak ada salahnya jika mahasiswa PLS sejak dini diperkenalkan kepada habitatnya, yaitu kegiatan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh lembaga swasta (masyarakat) sebagai mitra dari dinas pendidikan yang membidangi pendidikan nonformal, seperti TBM, PKBM, SKB, BPKB, BPPNFI, P2PNFI dengan program-program andalannya yang terdiri dari PAUD, Keaksaraan Fungsional, Kesetaraan, Life skill, pendidikan pemberdayaan perempuan, pengarus utamaan gender dalam pendidikan, pengembangan minat baca dan sejenisnya.
Melalui kegiatan magang inilah, diharapkan mahasiswa PLS bisa memunculkan pikiran cerdas, kreatif dan inovatif dalam rangka membuat program pendidikan nonformal yang dapat menjangkau masyarakat yang tidak tersentuh oleh pendidikan formal.
Itu dulu, jaman ketika masih jarang orang melarat atau orang desa yang mau mengalokasikan dananya untuk menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi karena belenggu kemiskinan dan tradisi.
Sekarang jaman itu sudah berakhir, seiring membaiknya kondisi perekonomian keluarga dan meningkatnya taraf hidup masyarakat, serta tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, sehingga orang tua merasa turun gengsi (asor) jika anaknya tidak sekolah (kuliah). Untuk itulah dengan segala upaya orang tua menyiapkan dana untuk membiayai agar anaknya tidak perlu ngenger (ngawulo) yang mungkin saat ini diartikan sebagai kurang bergengsi, ngisin-ngisini, kurang gaul dan dianggap mengurangi kebebasan berekspresi sebagai anak muda dalam menggauli budaya urban. Akibatnya, masih banyak mahasiswa PLS yang ‘Anyih-anyih’ kurang familier ketika harus berkencan dengan habitatnya di lapangan. Mereka terkaget-kaget saat melihat pelaksanaan program PLS di lapangan, mulai dari karakteristik warga belajarnya, tutornya, pengelola, sarana prasarana yang ala kadarnya, proses belajar mengajar dan masalah ikutan lain yang tidak pernah terpikirkan dan dipelajari dari Hands Out Bapak Dosen. Bahkan di banyak kasus, tidak sedikit mahasiswa yang apatis dengan keilmuannya, keberadaan di kampus hanya menghabiskan waktu dengan aktif di UKM sambil tebar pesona untuk mencari calon pasangan hidup selepas kuliah nanti.
Untuk itulah, kiranya jurusan PLS sudah waktunya mereformasi diri, baik itu kurikulumnya maupun metode belajar yang selama ini “di imani” oleh dosen hendaknya diganti dengan yang lebih enjoyfull learning, begitu juga perilaku dosen yang lebih suka ngobyek di luar dengan membiarkan mahasiswanya pandai mencatat dan menghafal tanpa memahami isinya maupun dosen yang jarang ngajar, hanya rajin memberi tugas lewat email dan SMS. Semua itu kiranya perlu di bongkar dalam rangka meningkatkan kompetensi lulusan PLS untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja ke depan. Wallahu a’lam bish showab.*[ebas/ipabipusat-online].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar