PROGRAM PENDIDIKAN DASAR
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa, sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia, karena manusialah yang merupakan aktor utama dalam pembangunan. Contoh konkret yang dapat kita lihat sekarang bahwa 70% tenaga kerja Indonesia masih berpendidikan sekolah dasar atau kurang.
Kondisi sumber daya manusia seperti ini sangat sulit mendukung pembangunan pertumbuhan ekonomi baik secara sektoral maupun nasional. Cukup bukti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin besar peluang untuk lebih mampu berperan serta dalam pembangunan, sebagaimana hasil studi yang dilaksanakan oleh UNESCO (1998), yang menyimpulkan bahwa: “...education especially basic education can make significant contribution to poverty eradication and enhancement of quality of life“. Selanjutnya UNESCO dalam bukunya yang berjudul “Human development is a process of enlarging people’s choices. Three essentials areas are for people to lead a long and healthy life, to acquire knowledge and to have access to a source needed for a decent standard of living”, di sini kita diingatkan bahwa pendidikan (pendidikan dasar utamanya) pada hakikatnya harus memberi kesempatan kepada setiap orang agar mereka memiliki banyak pilihan dalam hidupnya.
Ada tiga prinsip yang harus diperhatikan, yaitu membantu mereka agar memiliki umur panjang dan hidup sehat, mendapatkan pengetahuan, dan memiliki akses untuk dapat memenuhi standard kehidupannya secara layak. Ini berarti bahwa sebenarnya pendidikan, utamanya, pendidikan dasar bukannya hanya untuk mereka yang berusia sekolah saja, mereka yang berusia di luar usia sekolah yang karena berbagai hal tidak berkesempatan memperoleh pendidikan berhak pula untuk mendapatkannya.
Jalur pendidikan luar sekolah menyadari sepenuhnya akan hal tersebut di atas. Sebagai realisasinya, semenjak tahun 1977 telah diselenggarakan Program Paket A, kemudian pada tahun 1994, dikembangkan menjadi Program Paket A setara SD, serta pada tahun yang sama pula dikembangkan Program Paket B setara SLTP. Semua ini merupakan upaya untuk memberikan pelayan pendidikan kepada masyarakat sehingga paling tidak semua penduduk negeri ini memiliki pendidikan serendah-rendahnya pendidikan dasar (SD dan SLTP), seperti amanat dari kebijaksanaan pemerintah dalam Wajib Belajar Pendidikan Dasar (9 tahun).
Jumlah penduduk usia 10-44 tahun yang masih buta huruf masih cukup memprihatinkan, demikian pula angka putus SD, lulus SD tidak melanjutkan, dan putus SLTP. Sampai akhir tahun 1998 masih terdapat penduduk buta huruf usia 10-44 tahun sebanyak 6.073.420 orang (4,87%), putus SD usia 7-12 tahun sebanyak 4.038.007 orang (16,6%), lulus SD tidak melanjutkan sebanyak 4.346.586 orang (32,77%), dan putus SLTP usia 13-15 tahun sebanyak 1.823.113 orang (25,87%). (Fakta dan Angka Dikmas 1999)
Dari data di atas kita melihat, masih banyak sasaran yang harus dilayani melalui jalur pendidikan luar sekolah, padahal program-¬program pendidikan luar sekolah, khususnya untuk memberikan bekal pendidikan dasar telah lama dilaksanakan. Apabila dilihat dari sisi anggaran perhatian pemerintah pada jalur pendidikan luar sekolah dirasakan masih amat kurang (Umberto Sihombing 2000), walaupun dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989, secara tegas dinyatakan bahwa sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui dua jalur, yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya bantuan pemerintah untuk jalur pendidikan luar sekolah.
Namun demikian kita tidak boleh “mengkambing-hitamkan” masalah dana semata, tetapi secara jujur berdasarkan kenyataan yang berhasil diamati penulis dalam penyelenggaraan program-program masih terdapat banyak kendala/permasalahan yang membuat hasil yang di harapkan belum dapat tercapai. Sudah banyak usaha atau upaya pemecahan masalah dilaksanakan dalam penyelenggaraan program di lapangan, tetapi selama ini pemecahan masalah tersebut banyak yang kurang tajam, artinya pemecahan masalah tersebut tidak mengena pada akar permasalahan, tetapi lebih bersifat pada “pengobatan” terhadap kejadian atau symptom yang dialami, tanpa menganalisis lebih jauh penyebab-penyebab kejadian tersebut.
Untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan program di masa yang akan datang perlu diadakan peneropongan, penggalian, pengungkapan (scanning) yang menyeluruh pada semua kejadian yang menghambat pelaksanaan program, kemudian dicari akar permasalahannya. Upaya pemecahan masalah harus diupayakan pada upaya pemecahan akar permasalahan, sehingga berbagai aspek yang terjadi akibat dari akar permasalahan tersebut dapat tertanggulangi. Sebab satu akar permasalahan dapat mengakibatkan berbagai kejadian, sehingga apabila akar permasalahan belum tertanggulangi, sedangkan salah satu kejadian yang diakibatkan oleh akar permasalahan diatasi, maka kejadian-kejadian serupa yang menghambat pelaksanaan program akan terus terjadi secara berulang-¬ulang, jika tidak dapat dikatakan mubazir, maka upaya tersebut kurang efektif.
Pendidikan dasar dalam jalur pendidikan luar sekolah adalah bentuk pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang karena berbagai hal tidak memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan pada jalur sekolah, sehingga mereka memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar, minimal setara dengan tamatan pendidikan dasar. Dalam pelaksanaannya pendidikan dasar pada jalur pendidikan luar sekolah, dilaksanakan melalui program: 1) Pemberantasan Buta Aksara melalui Keaksaraan Fungsional; 2) Program Paket A setara SD, dan Paket E setara SUP. Dalam usaha meningkatkan kinerja program pendidikan dasar luar sekolah tersebut, berbagai permasalahan yang dihadapi adalah seperti digambarkan berikut.
a.Program Pemberantasan Buta Aksara, Melalui Keaksaraan Fungsional
Program pemberantasan buta aksara melalui keaksaraan Fungsional, di masyarakat lebih dikenal dengan program “Keaksaraan Fungsional (KF)” saja. Program KF adalah program pemberantasan buta aksara yang substansi belajarnya disesuaikan dengan kebutuhan dan minat warga belajar berdasarkan potensi lingkungan yang ada di sekitar kehidupan warga belajar. Dengan demikian hasil yang diharapkan dari program ini adalah warga belajar dapat memanfaatkan hasil belajarnya dalam kehidupannya sehari-hari (bersifat fungsional), guna peningkatan kualitas kesejahteraan hidupnya.
Selama pelaksanaan program KF, banyak kejadian yang menghambat kinerja program, antara lain:
1.Kesalahan Rekruiting Warga Belajar
Dari hasil pengamatan selama ini diperkirakan bahwa sebagian besar warga belajar program Keaksaraan Fungsional bukan berasal dari buta huruf murni, kejadian ini mengakibatkan disamping sulit mengetahui peningkatan hasil belajar akibat dari proses belajar, juga jumlah buta huruf yang ada penurunannya cukup merisaukan. Patut diduga kecilnya penurunan ini sebagai akibat program tidak melayani “siapa yang harus dilayani”. Petugas Dikmas di lapangan sering melakukan kesalahan, yakni merekrut siapa saja yang mau menjadi warga belajar KF, bukan merekrut siapa yang harus direkrut menjadi warga belajar KF.
Tidak adanya “data base“ menyulitkan pelaksanaan proses rekruiting. Data merupakan amunisi tempur bagi seorang perencana dan pelaksana suatu program, karena itu keberadaan data yang terus menerus diremajakan agar sesuai dengan perkembangan dan kemajuan akan sangat diperlukan setiap saat. Peremajaan (updating data) hanya akan berarti apabila telah dimiliki data dasar yang dikumpulkan dengan cara dan alat yang tepat. Pendidikan luar sekolah belum memiliki data yang akurat tentang penduduk buta huruf di setiap wilayah kecamatan yang merupakan wilayah kerja seorang petugas pendidikan luar sekolah.
Akibat dari kurang akuratnya bahkan tidak adanya data base, selain mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam perekrutan warga belajar juga mengakibatkan beberapa kejadian lain seperti proposal program kurang realistik, pengalokasian program yang kurang tepat artinya bukan pada lokasi di mana terdapat warga masyarakat buta huruf banyak.
2.Proses/Program pembelajaran Belum Menggunakan Pola Interaktif
Program belajar atau proses pembelajaran dalam program keaksaraan fungsional belum merupakan proses interaktif antara warga belajar dengan tutor. Komunikasi dua arah warga belajar dengan tutor mutlak harus terjadi karena walaupun sebenarnya warga belajar buta huruf, namun harus diakui bahwa dalam kehidupan warga belajar sehari-hari banyak pengalaman yang dihayati, dan ini merupakan pengetahuan yang sangat berharga yang dimiliki warga belajar.
Di dalam program keaksaraan fungsional proses belajar terjadi secara interaktif baik antar warga maupun dengan tutor sehingga mereka terlibat secara aktif di dalam proses pembelajaran, bukan dengan pola satu arah. Dengan proses yang interaktif akan tercipta keberanian, hubungan yang harmonis, penghargaan atas pengalaman dan pengetahuan orang lain dan yang paling penting timbul rasa harga diri bagi warga belajar.
Kenyataan di lapangan tidak jarang terjadi tutor, narasumber teknis atau sumber belajar “mengajar” dalam arti menggurui warga belajar tanpa mempertimbangkan bahwa warga belajar dewasa sarat dengan pengalaman dan ilmu kehidupan yang tentu tidak dimiliki tutor yang lebih muda. Kejadian-kejadian lain yang juga sering ditemui dalam proses pembelajaran program keaksaraan fungsional adalah warga belajar banyak yang putus belajar di tengah jalan serta hasil belajar yang dicapai kurang mampu memenuhi kebutuhan belajar warga belajar dan pada akhirnya tidak mampu juga memenuhi kebutuhan pasar.
Pertanyaan kita sekarang, mengapa hal ini terjadi? Dan apa akar permasalahan yang menyebabkan kejadian tersebut? Selama ini akar permasalahannya adalah: (1) warga belajar kurang dilibatkan dalam penyusunan program belajar, sehingga dengan demikian apa yang menjadi kebutuhan belajar warga belajar tidak dapat digali, akhirnya substansi belajar atau jenis keterampilan yang dijadikan alat untuk belajar keaksaraan menjadi kurang tepat dan kurang menarik minat belajar warga belajar; (2) tutor/sumber belajar kurang memahami metode pembelajaran pendidikan luar sekolah yakni metode pembelajaran orang dewasa (andragogi); akibatnya komunikasi dua arah tidak terjadi dalam proses pembelajaran; (3) keterbatasan serta kurang sesuainya substansi/materi sarana belajar. Ketidaksesuaian materi sarana belajar memang sangat mungkin terjadi karena selama ini masih banyak sarana belajar yang dipakai dikembangkan di luar kelompok belajar.
Secara konseptual program keaksaraan fungsional, sarana belajarnya harus dikembangkan oleh warga belajar dan difasilitasi oleh tutor, sehingga dalam diri warga belajar timbul kebanggaan karena mempelajari bahan belajar sesuai kebutuhannya, serta di samping itu pula ketidaksesuaian materi dengan kebutuhan belajar warga belajar kemungkinan akan terjadi sangat kecil. Namun demikian, masih banyak juga ditemui bahwa tutor kurang mampu memfasilitasi warga belajar dalam mengembangkan sarana belajar, baik akibat kurangnya kemampuan tutor dalam mengembangkan sarana belajar KF maupun rendahnya motivasi mereka dalam memberikan pelayanan terbaik bagi sesamanya. Akibatnya, sarana belajar yang dikembangkan memiliki mutu yang perlu dipertanyakan baik dari segi isi, cara penyampaian dan penampilan.
3.Pentahapan program yang tidak jelas
Dalam program belajar keaksaraan fungsional, dikenal tiga tahap penyelenggaraan program, yakni: tahap pemberantasan, tahap pembinaan, dan tahap pelestarian. Dalam pelaksanaannya di lapangan sangat sulit membedakan apakah kelompok belajar tersebut termasuk tahap pemberantasan, pembinaan atau pelestarian.
Akar permasalahan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah sampai saat ini konsep tahapan ini tidak tertulis secara jelas, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti, apa yang menjadi kriteria jika suatu kelompok belajar dapat dikatakan masuk dalam salah satu dari ketiga tahapan belajar tersebut.
Di masa mendatang sangat perlu diterbitkan atau paling tidak ada konsep tertulis apa yang membedakan antara ketiga tahapan tersebut, selain faktor waktu. Karena mungkin saja satu kelompok belajar telah belajar lebih dari 6 bulan, tetapi belum dapat dikatakan naik ke tahap berikutnya akibat kemampuan standard yang dimiliki pada tahap tertentu belum tercapai.
4.Kelompok belajar
Setiap kelompok belajar dalam program keaksaraan fungsional rata-rata terdiri dari 10 orang warga belajar. Cukup kecil memang, tetapi kenyataan yang di lapangan ternyata kelompok yang sedemikian kecilnya ternyata sangat sulit untuk dipertahankan sampai proses belajar selesai. Walaupun jumlah kelompok utuh sepuluh orang, tetapi biasanya kalau ditelusuri secara seksama sering terjadi tambal-sulam. Tambal-sulam ini terjadi karena ada dari sebagian petugas bermental “asal atasan senang” atau bermental “yang penting kelompok belajar utuh 10 orang” tidak melaporkan apa yang terjadi sebenarnya di lapangan.
Dengan kejadian seperti ini kemajuan belajar tidak dapat diketahui secara pasti karena dalam kelompok tersebut ada warga belajar yang mulai dari awal, ada yang pertengahan, bahkan ada pula yang baru bergabung ketika kelompok belajar tersebut akan dipantau. Ada beberapa hal yang menyebabkan kejadian ini berlangsung, antara lair: (1) mobilitas warga belajar sangat tinggi; hal ini terjadi karena hampir seluruh warga belajar program keaksaraan fungsional adalah orang miskin, baik itu miskin ilmu, miskin kemampuan, dan yang paling berat adalah miskin ekonomi/harta. Oleh karena itu, pemenuhan ekonomi menjadi prioritas utama bagi sebagian besar dari mereka. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak jarang memaksa¬ mereka harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan pindah ke propinsi lain.
Kejadian seperti di atas sangat sulit untuk dihindari, karena bagaimana pun baiknya program belajar, jika tidak langsung memberikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan warga belajar, terutama dalam hal pemecahan masalah ekonomi, maka mobilitas warga belajar sangat sulit untuk dihindari. (2) Ketidak-utuhan kelompok belajar juga dipengaruhi oleh kekurangsesuaian antara materi belajar dengan kebutuhan dan minat belajar warga belajar. Hal ini terjadi karena sering sekali petugas (tutor atau fasilitator) tidak mau pusing-pusing untuk berusaha memenuhi kebutuhan belajar warga belajar, sehingga bukan upaya untuk memenuhi kebutuhan belajar warga belajar yang terjadi, tetapi apa yang mampu dilaksanakan oleh petugas itulah yang harus dipelajari oleh warga belajar.
Dengan demikian warga belajar menjadi tidak betah belajar, karena apa yang mereka harapkan dari proses belajar tidak diperolehnya, dan akhirnya mereka mengundurkan din atau putus belajar. (3) Kesalahan dalam penempatan kelompok belajar (lokasi) juga merupakan salah satu faktor penyebab sulitnya mempertahankan keutuhan kelompok belajar. Hampir semua petugas memahami bahwa lokasi kelompok belajar seharusnya dekat atau berada di sekitar pemukiman warga belajar, tetapi biasanya tempat belajar beserta sarananya tidak ada di sekitar pemukiman kelompok belajar. Biasanya kenyataan seperti ini memaksa petugas untuk mencari tempat belajar di luar pemukiman warga belajar.
Sangat sulit memang mencari pemecahan masalah seperti tersebut di atas, oleh karenanya sejak bulan Agustus 1998, telah dirintis pelembagaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang berada di tengah-tengah masyarakat, sehingga kendala-kendala tersebut sedapat mungkin dapat dihindari. Sedangkan bagi kelompok belajar yang tidak mungkin belajar di PKBM, tidak harus dilaksanakan di PKBM, tetapi masih berada di bawah pengawasan/kendali oleh PKBM.
5.Hasil Belajar
Hasil belajar dalam program keaksaraan fungsional adalah di samping warga belajar memiliki kemampuan baca, tulis, hitung, dan berbahasa Indonesia, juga memiliki keterampilan bermata pencaharian yang dapat dijadikan sumber penghasilan (fungsional), artinya hasil belajar tersebut bermakna, paling tidak terhadap dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu, program pembelajaran, seharusnya diarahkan pada suatu tujuan hasil belajar tersebut di atas, dan sudah barang tentu antara satu warga belajar dengan warga belajar lain memiliki kebutuhan belajar yang berbeda, atau paling tidak antara satu kelompok belajar dengan kelompok belajar lain kebutuhan belajarnya berbeda.
Kejadian atau kenyataan di lapangan yang sering ditemui, ternyata hasil belajar yang diperoleh oleh warga belajar KF baru terbatas pada kemampuan baca, tulis, hitung semata (itu pun sangat terbatas), tetapi belum sepenuhnya dapat memberikan makna terhadap kehidupannya (kurang fungsional). Kenapa hal ini terjadi? Pertama, sampai saat ini setiap kelompok belajar belum memiliki patokan yang jelas, hasil belajar apa yang ingin dicapai.
Contoh : jika kelompok belajar KF belajar baca, tulis, hitung, dan bahasa Indonesia melalui keterampilan menjahit, maka seharusnya ada standard sampai di mana? atau sampai tingkat kemampuan apa?...baca, tulis, hitung dan berbahasa Indonesia warga belajar, serta dalam hal keterampilan warga belajar selesai sampai terampil membuat apa...? Sehingga dengan demikian ada batasan yang jelas kapan warga belajar berhenti belajar untuk tahapan tertentu.
Karena jika warga belajar, belajar terus tanpa ada batasan sampai kapan? dan tingkat kemampuan apa?, lama-kelamaan akan dapat menurunkan motivasi belajar, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya putus belajar.
Contoh kecil yang mungkin dapat dijadikan acuan adalah “belajar setir mobil” seseorang akan berhenti belajar setir mobil, jika warga belajar tersebut telah dinyatakan lulus oleh kepolisian dengan bukti diberikan Surat Izin Mengemudi (SIM). Sementara di lain pihak pedoman atau petunjuk bagaimana mengevaluasi hasil belajar KF (baik untuk pengetahuan maupun keterampilan) sampai saat ini belum ada, padahal sesulit/semudah apapun pelajaran dalam program pembelajaran harus ada sistem evaluasinya untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajarnya.
Di bidang sertifikasi juga dalam keaksaraan fungsional belum ada. Padahal sertifikasi ini sangat perlu untuk mengetahui sudah berapa banyak masyarakat yang terbebas dari buta aksara serta dapat memberikan kebanggaan bagi warga belajar; karena telah memegang tanda bukti bahwa mereka sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan baca, tulis, hitung, dan berbahasa Indonesia.
Dengan adanya sertifikasi, dapat dihindari kesalahan dalam pendataan oleh BPS, karena pengalaman menunjukkan bahwa bagi setiap penduduk yang tidak sekolah (jalur sekolah) dan putus sekolah dasar kelas I, II dan III oleh petugas statistik dimasukkan ke dalam kategori buta huruf. Namun jika warga masyarakat yang masuk ke dalam kategori tersebut tetapi telah memiliki sertifikat dari program keaksaraan fungsional hal tersebut dapat dihindari. Dulu memang ketika masih program pemberantasan buta aksara bernama Program Kejar Paket A, setiap warga belajar yang telah mengikuti satu tahapan belajar dan dinyatakan lulus diberikan STSB, yaitu Surat Tanda Serta Belajar.
b.Pendidikan Dasar Melalui Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP
Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP mulai dirintis sejak tahun 1989, dan dilaksanakan secara nasional sejak tahun 1994. Dari periode ini dapat dilihat proses pengembangan kedua program ini kurang lebih selama lima tahun atau satu pelita. Lima tahun merupakan waktu yang cukup untuk mengembangkan berbagai perlengkapan program, seperti kurikulum, modul, dan petunjuk pelaksanaan/penyelenggaraan program. Bahkan untuk Program Paket A telah dikembangkan dan dilaksanakan tahun sejak 1977, namun pada saat itu belum disebut program kesetaraan dan ujiannya melalui program yang dinamakan dengan ujian persamaan (Upers).
Kalau diperkirakan program dimulai sejak tahun 1989, ini berarti usia kedua program sudah lebih dari 10 tahun, maka seharusnya program telah terbebas dari segala kekurangan/hambatan yang bersifat operasional, walaupun ada kekurangan, seharusnya tidak lagi diakibatkan oleh hal-hal yang bersifat teknis operasional tetapi karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan tuntutan pasar, karena bagaimanapun perkembangan lptek dan perubahan kebutuhan pasar sangat cepat, sehingga substansi program Paket A dan Paket B, harus selalu diadaptasikan.
Namun yang terjadi sekarang ini kekurangan/hambatan dalam Program Paket A dan Paket B bukan saja pada substansi materi pelajaran, tetapi yang lebih memprihatinkan kekurangan/hambatan tersebut terjadi pada teknis pelaksanaan program. Banyak sekali kejadian atau tanda-tanda yang timbul akibat dari kesalahan teknis dan substansi. Selama ini telah banyak upaya yang dilaksanakan untuk menyempurnakan pelaksanaan program dan meningkatkan kualitas dan kebermaknaan basil pembelajaran kedua program tersebut terhadap warga belajar. Namun hasil yang dicapai belum optimal seperti apa yang diharapkan dan tertulis dalam konsep akademik program.
Pertanyaan yang timbul adalah kenapa hal ini bisa terjadi? dan kenapa upaya-upaya yang dilaksanakan selama ini kurang efektif? Secara garis besar dapat dijawab bahwa hal ini terjadi karena pemecahan permasalahan yang dilaksanakan selama ini tidak mengena pada akar permasalahan.
Dalam mencari akar permasalahan ini, perlu dikenali sebelumnya kejadian-kejadian yang timbul dalam pelaksanaan program dan dianalisis secara seksama apa penyebab intinya. Karena tidak jarang suatu kejadian yang timbul diakibatkan oleh beberapa sebab, yang kadang kala penyebabnya tersebut bersamaan atau berangkai/bertingkat, yaitu penyebab utama menimbulkan penyebab kedua dan begitu seterusnya, sampai akhirnya kejadian timbul dalam pelaksanaan program. Selanjutnya akan diuraikan berbagai kejadian yang selama ini timbul.
Dalam pelaksanaan program Paket A setara SD dan Paket B setara SUP, berbagai permasalahan yang paling berat dihadapi diuraikan sebagai berikut :
1.Warga Belajar
Permasalahan yang berkaitan dengan warga belajar adalah: (a) lokasi tempat tinggal warga belajar saling berjauhan sehingga sulit mendapatkan satu kelompok sebanyak 40 orang warga belajar; (b) latar belakang sosial ekonomi warga belajar lemah sehingga frekuensi kehadirannya sangat rendah; (c) warga belajar menjadi pencari nafkah keluarga, mereka hanya belajar kalau waktu mengizinkan; (d) motivasi belajar rendah, mereka berpendapat tanpa belajar pun mereka sudah mendapatkan uang.
2.Tutor
Tugas tutor bukanlah mengajar tetapi membimbing warga belajar dalam memahami materi pelajaran, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu diperlukan tutor yang paham akan masalah pendidikan.
Masalah yang menghambat pelaksanaan Paket A Setara SD dan Paket B Setara SLTP adalah: (a) sulit mendapatkan tutor yang memiliki latar belakang pendidikan keguruan, khususnya tutor IPA dan Bahasa Inggris; (b) Honorarium yang diterima tutor tidak memadai yaitu dari Rp. I5.000,-/bulan untuk tutor Paket A dan Rp. 20.000,-/bulan untuk tutor Paket B menjadi Rp. 50.000,-. Meskipun telah diadakan peningkatan honor, namun masih belum layak; (c) Usaha peningkatan kemampuan tutor tidak merata, banyak tutor yang tidak pernah ditatar dan tempat tinggal tutor jauh dari warga belajar.
Seorang tutor untuk mampu melaksanakan tugasnya dengan baik seharusnya dilengkapi dengan kebisaan seperti:
a.Kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajar
b.Kemampuan menyusun program pembelajaran yang berorientasi pada tujuan yang diinginkan warga belajar
c.Kemampuan berkomunikasi agar mampu menggunakan berbagai cara dalam pembelajaran
d.Kemampuan menjalankan program dalam arti kemampuan mengorganisir program
e.Kemampuan menilai hasil program. Dengan demikian tutor harus mengalami standard yang harus dicapai pada setiap kurun waktu
f.Kemampuan menggunakan hasil penilaian dalam usaha memperbaiki program di masa mendatang.
3.Prasarana dan Sarana
a)Prasarana
Permasalahan prasarana belajar yang dapat dipertimbangkan sebagai penyebab hambatan belajar antara lain: (a) belum memiliki gedung sendiri, tetapi masih memanfaatkan balai desa; gedung sekolah yang kosong dan tempat pertemuan lainnya, sehingga tidak jarang meminjam tempat tinggal tokoh masyarakat atau rumah warga belajar yang luas. Dengan dilembagakannya PKBM sebagai tempat segala kegiatan yang ada di masyarakat, maka dapat digunakan oleh warga belajar kejar Paket P, dan B Setara; (b) lokasi gedung sekolah jauh dari tempat tinggal warga belajar; dan (c) fasilitas belajar kurang memadai.
b)Sarana
Sarana belajar sebagai media yang digunakan untuk belajar membawa berbagai hambatan antara lain : (a) Jumlah modul terbatas, yaitu 1 modul untuk 3 orang warga belajar, yang seharusnya 1 modul untuk tiap warga belajar, akibatnya mereka sukar untuk dapat melaksanakan proses belajar mandiri; (b) terbatasnya jumlah buku yang dapat menambah wawasan warga belajar; dan (c) kurang dimanfaatkannya sarana belajar lokal atau yang tersedia di lokasi kegiatan.
4.Pehabtanas
Secara konseptual penilaian terhadap warga belajar Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP dilaksanakan dalam bentuk evaluasi proses pembelajaran modul, evaluasi sekelompok modul dan penilaian hasil belajar tahap akhir nasional (Pehabtanas). Secara umum langkah penilaian tersebut di lapangan sudah dilaksanakan. Khusus untuk Pehabtanas materi pelajaran yang diujikan meliputi PPKn, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan Matematika untuk Paket A dan ke lima bidang studi tersebut ditambah Bahasa Inggris untuk Paket B. Pelaksanaan pengembangan soal dan pemeriksaan hasil ujian tidak dikelola oleh perencana dan pelaksana pembelajaran. Tugas ini dilakukan oleh Pusat Pengujian Balitbang Depdiknas dengan maksud untuk menjamin obyektivitas dan mutu lulusan.
Pelaksanaan Pehaptanas masih menghadapi beberapa masalah, antara lain: (a) terbatasnya jumlah tenaga yang handal yang mampu menangani Pehabtanas; (b) pendaftaran peserta ujian sering terlambat; (c) pendaftaran peserta tidak sekaligus, akibatnya sering berbeda antara data yang dikirim oleh daerah dengan data yang diterima di pusat; (d) data peserta sering berubah-ubah, akibatnya menghambat. dalam membuat pengumuman kelulusan; (e) longgarnya pengawasan, akibatnya di beberapa daerah ditemukan adanya kesenjangan pelaksanaan; dan (f) terlambatnya pengumuman akibat terlambatnya pengembalian Lembar Jawaban Kerja (LJK) dari daerah ke pusat, yang dapat mengakibatkan kurang kepercayaan peserta pada sistem yang dibangun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adizes Ishak. Corporate Life Cycle. Prentice Hall. 1988.
2. Baudin Taufik. Brain Ware Management. Max Media Kopertindo. Jakarta. 1998.
3. George Binney & Collin Williams. Learning Into The Future. Nicholas Brealy Lander.
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar